Di bidang perikanan, kalau menyebut kata ikan, kadang timbul keraguan tentang yang manakah yang dimaksud dengan ikan. Keraguan ini dapat terjadi karena batasan ikan dalam UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan berbeda dengan batasan ilmiah (iktiologis).
Yang pertama menyatakan bahwa ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Dalam makalah ini yang dimaksud dengan ikan adalah yang didasarkan pada batasan iktiologis.
Ikan adalah hewan vertebrata berdarah dingin (poikilotermal), yang pergerakan dan keseimbangan tubuhnya terutama menggunakan sirip dan umumnya bernapas dengan insang serta hidup dalam lingkungan air. Secara taksonomis ikan dikenal sebagai kelompok Pisces. Para ahli memperkirakan jumlah ikan di dunia sampai 40.000 spesies. Nelson (1994) mencatat bahwa terdapat deskripsi ilmiah yang sahih bagi 24.600 spesies ikan yang hidup dalam 482 famili dan 57 ordo. Dengan jumlah spesies sebesar itu, ikan menduduki persentase terbesar (48,1%) di antara hewan vertebrata. Secara berurutan persentase hewan vertebrata lainnya ialah Aves 20,7%; Reptilia 14,4%; Mammalia 10,8%; dan Amphibia 6,0% (Lagler et al., 1977). Informasi lengkap tentang spesies ikan dapat dilihat pada buku Catalog of Fishes sebanyak tiga volume yang disunting oleh Eschemeyer (1998).
Ikan menghuni semua bentuk ekosistem apakah laut, perairan payau ataupun perairan tawar. Tempat hidup ikan berkisar dari 11 km di bawah permukaan laut sampai 5 km di atas permukaan laut. Dari jumlah spesies ikan yang telah terdeskripsikan secara ilmiah, sekitar 41% menghuni perairan tawar (Cohen, 1970), yang luasnya hanya 1% luas permukaan bumi. Sisanya yang 58% menghuni laut yang luasnya 70% dari seluruh permukaan bumi. Horn (1972) menyatakan ada disparitas besar antara lingkungan air tawar dan lingkungan air laut dari sudut jumlah spesies per satuan volume air. Dia menghitung bahwa tersedia 113.000 km3 per spesies ikan laut, dan hanya 15 km3 bagi setiap spesies ikan air tawar, atau ruang yang tersedia bagi spesies ikan laut 7.500 kali lipat dibandingkan ikan air tawar. Bila yang diperhitungkan hanya ikan yang tinggal di perairan pantai sampai batas paparan benua (sampai kedalaman 200 meter), maka spesies ikan ini lebih tinggi 20 kali lipat (290 km3 berbanding 15 km3).
Fakta ini memperlihatkan bahwa kehidupan ikan di perairan tawar jauh lebih berat dibandingkan dengan ikan laut. Belum lagi bila ditambah dengan kondisi perairan tawar yang rawan terhadap degradasi habitat, pencemaran dan lain-lain; semuanya itu memberi tekanan pada keberlangsungan spesies ikan yang pada gilirannya akan memengaruhi biodiversitas ikan.
Berangkat dari uraian di atas makalah ini akan membahas tentang biodiversitas ikan di perairan tawar dan masalah eksistensi sebagian spesiesnya yang mulai terancam punah, serta faktor yang menjadi akar permasalahan. Ancaman akan kepunahan spesies ikan ini masih belum sepenuhnya disadari oleh banyak kalangan, yang pada ujungnya nanti mereka baru tersadar ketika segalanya sudah terlambat karena kekayaan plasma nutfah hilang.
Daerah Distribusi Ikan Air Tawar di Indonesia
Sebelum membahas daerah distribusi ikan air tawar di Indonesia, terlebih dahulu disampaikan iktiogeografi di dunia. Daerah persebaran ikan air tawar (iktiogeografi) di dunia dapat dibagi menjadi enam region (Nelson 1994; Helfman et al. 1997), yakni:
(a) Neartik (Amerika Utara ke selatan sampai dataran Meksiko) mencapai 14 famili;
(b) Neotropikal (Amerika Tengah dan Amerika Selatan termasuk Meksiko) mencakup 32 famili;
(c) Paleoartik (Europe and Asia north of the Himalayas) meliputi 14 famili;
(d) Afrika mencakup 27 famili;
(e) Oriental (anak benua India, Asia Tenggara, Filipina dan sebagian besar Indonesia) merangkum 28 famili;
(f) Australia (Australia, Papua dan Selandia Baru) menliputi 19 famili.
Alfred Russel Wallace menarik suatu garis batas antara region Oriental dan Australia yang melintasi Selat Makassar. Garis ini dinamakan Garis Wallace. Namun beberapa peneliti lain menarik garis batas lebih ke timur Sulawesi yang disebut Garis Weber. Gambar 1 memperlihatkan penarikan dua garis tersebut. Dengan demikian ikan air tawar di Indonesia mendiami tiga daerah sebaran geografis, yakni Paparan Sunda, Daerah Wallace, Paparan Sahul. Masing-masing daerah tersebut dihuni oleh berbagai spesies yang berbeda satu dari yang lain
Gambar 1. Daerah distribusi ikan air tawar di Indonesia.
A. Garis Wallace, B. Garis Weber, I. Paparan Sunda, II. Daerah Wallace, III. Paparan Sahul
Paparan Sunda mencakup Sumatera, Jawa, dan Kalimantan yang dahulu merupakan bagian dari benua Asia, sehingga ikan yang mendiaminya mirip. Ikan-ikan yang terdapat di sungai-sungai yang mengalir ke pantai timur Sumatera mempunyai banyak persamaan dengan ikan-ikan di sungai yang mengalir ke pantai barat Kalimantan. Di sini sebagian besar spesies ikan termasuk ikan karnivora dan omnivora, dan sangat sedikit yang herbivora. Beberapa jenis ikan yang khas daerah Sumatera antara lain ikan bilih (Mystacoleucus padangensis) di Danau Singkarak dan ikan batak (Neolissochilusthienemanni ) di Danau Toba.
Di daerah Wallacea yang mencakup Sulawesi dan Nusa Tenggara tidak begitu banyak terdapat spesies ikan air tawar dibandingkan dengan paparan Sunda. Sebagian besar spesies penghuninya termasuk dalam ikan endemik. Beberapa contoh dapat dikemukakan antara lain Telmatherina antoniae, T. prognatha, dan T. opudi yang menghuni Danau Matano (Hadiaty dan Wirjoatmodjo, 2002).
Paparan Sahul yang bagian terluasnya adalah Papua, merupakan wilayah yang ikan-ikannya belum banyak diketahui karena kurangnya penelitian ke arah itu. Peneliti yang memberikan banyak kontribusi dalam mendeskripsikan ikan di Papua adalah Allen (1991, 1998, dan 2001) dan rekan (Allen et al., 2000). Beberapa jenis ikan yang hanya dapat dijumpai di sini ialah Melanotaenia arfakensis dan Chilatherina sentaniensis.
Biodiversitas Ikan Air Tawar
Kottelat dan Whitten (1996) memprakirakan jumlah spesies ikan air tawar di Indonesia sekitar 1300 spesies, yang merupakan jumlah tertinggi di benua Asia. Lebih jauh dikatakan bahwa biodiversitas spesies ikan air tawar Indonesia nomor dua terkaya di dunia di bawah Brazilia yang kekayaan spesiesnya mencapai 3000 spesies. Para ahli memperkirakan masih ada sekitar ratusan spesies ikan di wilayah Indonesia yang belum ditemukan dan dideskripsikan.
Buku yang mendeskripsikan secara morfologis ikan Indonesia ditulis nyaris satu abad yang lalu ditulis oleh Max Weber dan de Beaufort (1911 – 1936) sebanyak tujuh jilid, yang kemudian dilanjutkan oleh de Beaufort dan rekannya (1940 – 1962) sebanyak empat volume. Buku yang berjudul “The fishes of the Indo-Australian Archipelago” ini bersama buku identifikasi ikan yang ditulis oleh Saanin (1968) telah menjadi buku klasik dan sekaligus kontemporer. Mengapa dikatakan demikian? Dewasa ini kedua buku tersebut masih digunakan sebagai acuan utama dalam determinasi ikan dewasa ini. Sampai kini belum muncul satu buku pun yang memaparkan secara komprehensif seluruh kekayaan spesies ikan di Indonesia, khususnya ikan perairan tawar. Meski secara nasional belum ada, namun ada beberapa buku tentang pemerian ikan pada satu kawasan tertentu di Indonesia; seperti Robert (1989) yang menulis tentang ikan-ikan di Kalimantan Barat atau Kottelat et al. (1993) yang mengemukakan tentang ikan-ikan di Indonesia bagian Barat dan Sulawesi. Haryono dan Tjakrawidjaja (2004) menguraikan tentang ikan air tawar di Sulawesi Utara, sedangkan Rachmatika (2003) mendeskripsikan ikan-ikan yang menghuni Taman Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat. Sementara itu Simanjuntak et al. (2006) hanya membuat senarai ikan-ikan yang ditemukan di Sungai Kampar Kiri tanpa menguraikan secara rinci masing-masing spesies.
Penemuan spesies baru terus berlangsung. Salah satu yang monumental adalah ditemukannya spesies terkecil di dunia (Paedocypris progenetica) di perairan rawa-rawa Jambi. Ikan ini telah mencapai matang gonad pada panjang 0,76 cm (Kottelat et al., 2005). Para sejawat peneliti di Puslit Biologi LIPI juga menemukan banyak spesies baru. Dapat juga terjadi satu spesies setelah dianalisis menjadi terpecah menjadi beberapa spesies baru. Contoh mutakhir adalah ikan siluk atau yang lebih dikenal sebagai arwana (Scleropages formosus), kini telah terpecah menjadi empat spesies, yakni: Scleropages formosus, S. legendrei, S. macrocephalus, dan S. aureus. Ikan-ikan yang telah dideskripsikan pun tidak banyak yang dikenal.
Meski penemuan spesies baru terus bertambah, namun sebagai kontroversi juga banyak spesies ikan yang terancam punah. Namun menghitung secara persis laju kepunahan ini nyaris menjadi pekerjaan mustahil karena banyak spesies yang belum dideskripsikan. Tidak tertutup kemungkinan bahwa ada ikan-ikan yang punah sebelum sempat diidentifikasi dan dideskripsikan, apalagi diteliti aspek ekologi dan biologinya. Hal inilah yang dikhawatirkan para iktiologis.
Nguyen dan de Silva (1996) memperlihatkan jumlah spesies ikan yang terancam punah dibandingkan dengan total spesies di berbagai negara Asia (Gambar 2). Terlihat pada gambar tersebut di Indonesia jumlah spesies yang terancam punah mencapai sekitar 8%.
Gambar 2. Jumlah spesies ikan yang terancam punah di berbagai negara Asia yang dinyatakan dalam persen (Nguyen dan de Silva, 1996)
Beberapa spesies yang rentan terhadap kepunahan mempunyai satu atau lebih ciri di bawah ini ( Primack et al., 1998):
• Spesies dengan sebaran geografis yang sempit
• Spesies yang memiliki ukuran populasi yang kecil
• Spesies yang ukuran populasinya menurun
• Spesies yang memiliki densitas yang rendah
• Spesies yang tidak memiliki kemampuan menyebar yang baik
• Spesies yang beruaya musiman
• Spesies dengan keanekaragaman genetik yang rendah
• Spesies yang memiliki relung tertentu
• Spesies yang hanya dijumpai pada lingkungan yang stabil
• Spesies yang diburu dan ditangkap manusia
Faktor Ancaman terhadap Biodiversitas Ikan
Beberapa faktor yang dapat menjadi ancaman terhadap biodiversitas ikan dan menimbulkan kepunahan telah banyak dibahas oleh para pakar antara lain Mosquin (1994), Wilcove et al. (1998), Gorena and Ortal (1999), Nguyen dan de Silva (2006), dan Gosset et al. (2006). Secara umum dapat disarikan bahwa faktor ancaman tersebut ialah: tangkap lebih ikan, introduksi spesies baru, pencemaran, habitat yang hilang dan berubah, dan perubahan iklim (akibat pemanasan global).
Tangkap lebih
Dalam kaitannya dengan penangkapan ikan, sering terjadi orang melakukan penangkapan dengan alat yang membahayakan keberlanjutan populasi ikan. Alat tersebut adalah racun, bom dan setrum. Racun dan setrum efektif dalam menangkap ikan, namun yang terjadi bukan saja ikan sasaran yang tertangkap; juga ikan jenis lain dan anak-ikan yang bukan sasaran. Penggunaan bom sungguh sangat merusak, pertama semua ikan dari segala ukuran mati dan ke dua habitat ikan hancur. Disamping itu juga didorong oleh keinginan meraih keuntungan yang besar tanpa mempedulikan hari esok, banyak orang melakukan penangkapan yang berlebihan termasuk menangkap anak-anak ikan. Di Banjarmasin bila musim hujan tiba banyak pedagang yang menjual anakan ikan haruan (Channa sp.) untuk makanan ikan hias lohan.
Introduksi
Introduksi ikan adalah suatu kegiatan manusia melepaskan atau memasukkan suatu spesies ikan baru yang sebelumnya tidak ada ke dalam suatu perairan (Welcomme, 1988). Menurutnya, introduksi telah dilakukan sejak lama, awal abd ke 19. Motif orang melakukan introduksi bermacam-macam, antara lain: meningkatkan produktivitas perikanan di suatu perairan, mengembangkan jenis ikan yang lebih disenangi/disukai dalam perikanan untuk konsumsi atau pemancingan, mengisi relung yang kosong, mengendalikan hama atau gulma (pengendalian biologis), dan ketidak sengajaan.
Banyak spesies ikan yang masuk ke perairan Indonesia, beberapa spesies masih diingat orang dan beberapa yang lain sudah dianggap ikan asli. Orang mungkin sudah tidak ingat lagi bahwa ikan mas (Cyprinus carpio), ikan sepat siam (Trichogaster pectoralis) dan mujair (Oreochromis mossambicus) bukan asli Indonesia. Ikan-ikan tadi dikembangkan untuk meningkatkan produktivitas perairan. Ikan mas datang dari Cina dan sekarang tak dapat disangkal menjadi andalan dalam perikanan budidaya terutama di Jawa Barat. Di Danau Toba introduksi ikan mas berlangsung tahun 1937 dan masih ditemukan dalam jumlah cukup besar sampai saat ini (hasil tangkapan). Pada dasawarsa tujuhpuluhan ikan mujair menjadi primadona dalam setiap introduksi ikan ke perairan waduk yang baru dibangun di Jawa Timur seperti Karangkates dan Selorejo, yang manfaatnya sampai kini terus dinikmati masyarakat sekitar. Ikan seribu (Poecilia reticulata) masuk ke Indonesia dengan tujuan untuk mengendalikan jentik-jentik nyamuk. Penebaran ikan bandeng (Chanos chanos) di Waduk Juanda dirancang untuk mengisi relung yang masih kosong, yaitu sumberdaya pakan alami fitoplankton di zona limnetik (bagian tengah) yang belum dimanfaatkan oleh ikan yang ada (Kartamihardja, 2007). Ikan oskar (Amphilophus citrinellus) dan kongo (Parachromis managuensis) adalah ikan asing yang berkembang di Waduk Jatiluhur dan menjadi dominan. Diduga dua spesies ikan ini masuk ke waduk masuk karena ketidaksengajaan, terbawa bersama benih ikan nila yang dipelihara di keramba jaring apung. Meskipun introduksi dapat memberikan hasil baik sesuai dengan tujuan introduksi, pada sisi lain masih mengemuka kekhawatiran bahwa masuknya jenis ikan yang dapat mengganggu komunitas ikan asli yang ada. Beberapa kasus di Malaysia (Ali, 1998) dan Spanyol (Elvira, 1988) menguatkan kekhawatiran tersebut. Ikan introduksi dapat menyingkirkan ikan asli terjadi karena ikan asli kalah bersaing dengan ikan introduksi dalam mendapatkan pakan dan ruang pemijahan, atau ikan asli dimangsa oleh ikan introduksi.
Pencemaran (permukiman, industri, pertanian)
Pencemaran berpautan erat dengan reduksi biodiversitas ikan. Cemaran yang masuk ke perairan dapat berasal dari perindustrian (seperti logam berat, minyak, fenol, dan panas), pertanian (seperti herbisida, pestisida, dan pupuk), maupun permukiman penduduk. Cemaran dapat berakibat langsung pada kematian ikan, terutama larva dan yuwana ikan.
Degradasi dan fragmentasi habitat
Pembangunan sering mengubah bentang alam, termasuk perairan tawar sebagai habitat ikan. Pembendungan sungai untuk menjadi waduk menjadikan sungai terfragmentasi. Kondisi ini menghalangi ikan yang melakukan ruaya pemijahan ke arah hulu, sehingga dapat memutus keberlanjutan populasi ikan tersebut. Selain itu, perubahan dari habitat mengalir menjadi habitat tergenang menciutkan biodiversitas ikan riverin, dan sebaliknya menguntungkan bagi ikan lacustrin. Biodiversitas ikan di waduk menurun dibandingkan biodiversitas ikan di sungai utama di Cina (Li, 2001). Dampak bendungan terhadap biodiversitas ikan dan biota lainnya dipaparkan secara komprehensif oleh McAllister et al. (2001). Meningkatnya kekeruhan, pendangkalan, dan debit yang sungai yang sangat fluktuatif antara musim penghujan dan kemarau menambah panjang daftar keterancaman biodiversitas ikan di sungai akibat degradasi habitat. Beberapa contoh perairan yang telah mengalami pendangkalan yang berat yaitu Bengawan Solo di Jawa Tengah dan Sungai Komering di Sumatera Selatan. Eutrofikasi di danau menyebabkan kondisi tidak nyaman bagi ikan akibat adanya deplesi oksigen. Belum lagi adanya alih fungsi perairan menjadi peruntukan lain seperti permukiman, kawasan industri, dan perdagangan tanpa memperhatikan lingkungan merupakan lonceng kematian bagi biodiversitas ikan.
Perubahan iklim (akibat pemanasan global)
Menarik untuk menyinggung masalah biodiversitas dengan perubahan iklim. Tahun ini hari lingkungan hidup sedunia yang jatuh pada setiap tanggal 5 Juni diperingati dengan tema: “Melting ice: A hot topic”. Emisi gas rumah kaca akibat kegiatan manusia menjadikan bumi kian panas. Naiknya suhu perairan ini akan langsung memengaruhi ikan yang termasuk poikilotermik, dan secara tak langsung dengan menurunnya kelarutan oksigen dalam air. Pengaruh tersebut nampak pada proses metabolisme, sehingga pada taraf tertentu akan mematikan ikan.
Penutup
Kini dapat diibaratkan lampu merah peringatan telah menyala terhadap kondisi biodiversitas ikan di perairan tawar, akankah kita tetap berdiam diri? Padahal sejak publikasi laporan Brundland berjudul Our Common Future pada tahun 1987 (UNEP, 1987) biodiversitas dan konservasi telah menjadi bagian yang integral dari pembangunan. Hal ini lebih ditegaskan lagi dalam Convention on Biological Diversity (1994).
Perhatian kita masih sangat sedikit terhadap masalah biodiversitas ikan di perairan tawar. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa membuktikan dengan jelas ketidakperhatian kita. Pada PP tersebut hanya memuat tujuh spesies ikan; sedangkan tentang Mamalia ada 70 spesies, disusul burung (93 spesies), dan reptil (31 spesies). Yang menjadi pertanyaan mengapa ini bisa terjadi?
Salah satu jawaban adalah masalah biodiversitas ini kurang dipahami oleh masyarakat dan kurang terlihat. Pengetahuan tentang ikan masih sedikit yang telah diungkap dan dipelajari. Berangkat dari titik ini, jelas masih dibutuhkan lebih banyak eksplorasi untuk lebih memahami, agar bukan hanya biodiversitas kita terjaga, tetapi juga dapat dimanfaatkan. Begitu banyaknya spesies yang ada di Indonesia, sayangnya dalam kenyataan masih sedikit spesies yang dimanfaatkan dalam perikanan, terutama dalam akuakultur.
Sungguh luar biasa bila nanti ikan-ikan endemik di suatu daerah dapat dimanfaatkan apakah sebagai ikan konsumsi atau sebagai ikan hias andalan daerah tersebut. Kita tidak perlu mendatangkan spesies asing yang sering dapat mengancam keberadaan ikan asli misalnya lele dumbo (Clarias garipienus) yang lepas ke perairan mendesak keberadaan lele lokal (Clarias batrachus).
Dan akhirnya kita perlu menyadari bahwa strategi konservasi menjadi jawaban untuk melindungi/menjaga dan mengawetkan/melestarikan kehidupan akuatik yang penting dalam menata keseimbangan alam dan mendukung ketersediaan sumberdaya bagi generasi yang akan datang. Dan lampu merahpun akan menghijau.
Daftar Pustaka
Ali, A.B. 1998. Impact of fish introductions on indigenous fish population and fisheries in Malaysia. In: I.G. Cowx (editor): Stocking and introduction of fish. Fishing News Books, London, pp. 274 – 286.
Allen, G.R. 1991. Field guide to the freshwater fishes of New Guinea. Christensen Research Institute, Madang – Papua New Guinea. 268 p.
Allen, G.R., 1998. A new genus and species of Rainbowfish (Melanotaeniidae) from fresh waters of Irian Jaya, Indonesia. Revue Française d’Aquariologie 25 (1-2): 11-16
Allen, G.R., 2001. A New Species of Rainbowfish (Glossolepis: Melanotaeniidae) from Irian Jaya, Indonesia. Fishes of Sahul, 15(3): 766-775
Allen, G.R.; K.G. Hortle; S.J. Renyaan. 2000. Freshwater fishes of the Timika region New Guinea. PT FreeportIndonesian Company, Timika. 175 p.
Cohen, D.M. 1970. How many recent fishes are there? Proc. Calif. Acad. Sci. ser. 4, 38 (17): 341 – 345.
de Beaufort, L. F. 1940-1962. The fishes of the Indo-Australian Archipelago, vol. 8 – 11. E. J. Brill, Leiden.
Elvira, B. 1998. Impact of introduced fish on the native freshwater fish fauna of Spain. In: I.G. Cowx (editor): Stocking and introduction of fish. Fishing News Books, London, pp. 186 – 190.
Eschemeyer, W.N. 1998. Catalog of fishes. California Academy for Sciences, San Francisco. 2883 p.
Gorena, M and R. Ortal. 1999. Biogeography, diversity and conservation of the inland water fish communities in Israel. Biological Conservation 89: 1 – 9
Gosset C, J. Rives, J. Labonne. 2006. Effect of habitat fragmentation on spawning migration of brown trout (Salmo trutta L.). Ecol. Freshw. Fish 2006: 15: 247–254
Hadiaty, R.K. dan S. Wirjoatmodjo. 2002. Studi pendahuluan biodiversitas dan distribusi ikan di Danau Matano, Sulawesi Selatan. Jurnal Iktiologi Indonesia 2 (2): 23 – 29
Haryono dan A. H. Tjakrawidjaja. 2004. The freshwater fishes of North Sulawesi. Bidang Zoologi Puslit Biologi LIPI, Bogor. 120 p.
Helfman, G.S.; B.B. Collette; D.E. Facey. 1997. The diversity of fishes. Blackwell Science, Massachusetts. 528 p.
Horn, M.H. 1972. The amount of space available for marine and freshwater fishes. Fish. Bull. 70 (4): 1295 – 1297.
Kartamihardja, E.S. 2007. Spektra ukuran biomassa plankton dan potensi pemanfaatannya bagi komunitas ikan di zona limnetik Waduk Ir. H. Djuanda, Jawa Barat. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, IPB. 137 p.
Kottelat, M., A.J. Whitten, S.N. Kartikasari, S. Wirjoatmodjo. 1993. Ikan air tawar Indonesia bagian barat dan Sulawesi. Periplus, Hongkong. 293 p + 84 plates.
Kottelat, M; R. Britz; T. H. Hui and K-E Witte. 2005. Paedocypris, a new genus of Southeast Asian cyprinid fish with a remarkable sexual dimorphism, comprises the world’s smallest vertebrate. Proceedings of the Royal Society: Biological Sciences.: 1 – 5
Kottelat M. and T. Whitten. 1996. Freshwater biodiversity in Asia with special reference to fish. World Bank Technical Paper 343, 59 p.
Lagler, K.F., J.E. Bardach, R.R. Miller, D.R. Passino. 1977. Ichthyology. John Wiley and Sons, New York. 506 p.
Li S, 2001. The impact of large reservoirs on fish biodiversity and fisheries in China. In: De Silva S.S. (ed.), Reservoir and Culture-Based Fisheries: Biology and Management. ACIAR Conference Proceedings 98, Canberra, Australia, pp. 22–28.
McAllister, DE; J. F. Craig, N. Davidson, S. Delany and M. Seddon. 2001. Biodiversity Impacts of Large Dams. IUCN, UNEP or UNF. 68 p.
Nelson, J.S. 1994. Fishes of the World. 3rd Ed. John Wiley & Sons, Inc. New York. 620 p.
Nguyen, T.T.T. and Sena S de Silva. 2006. Freshwater finfish biodiversity and conservation: an asian perspective. Biodiversity and Conservation 15:3543–3568
Primack, R.B.; J. Supriatna; M. Indrawan; P. Kramadibrata. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 345 p.
Rachmatika, I. 2003. Fish fauna of the Gunung Halimun National Park, West Java. Biodiversity Conservation Project.126 p.
Roberts, T.R. 1989. The freshwater fishes of western Borneo (Kalimantan Barat, Indonesia). California Academy of Sciences. 210 p
Saanin, H. 1968. Taksonomi dan kuntji identifikasi ikan, djilid 1 dan 2. Penerbit Bina Tjipta, Bandung. 520 p.
Simanjuntak, CPH; M. F. Rahardjo dan S. Sukimin. 2006. Iktiofauna di rawa banjiran Sungai Kampar Kiri. Jurnal Iktiologi Indonesia, 6 (2): 75 – 78
UNEP (United Nations Environment Programme). 1987. Our Common Future. The World Commission on Environment and Development Commission for the Future. Geneva.
Weber, M dan L.F. de Beaufort. 1911-1936. The fishes of the Indo-Australian Archipelago, vol. 1 – 7. E. J. Brill, Leiden.
Welcomme, R.L. 1988. International introductions of inland aquatic species. FAO Fish. Tech.Pap., (294): 318 p.
——————
oleh: M.F. Rahardjo
(Makalah Kunci Seminar Nasional IV Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan tanggal 28 Juli 2007 Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian, UGM, Yogyakarta)